Pages

Selasa, 27 Oktober 2015

Kehormatan harus dijaga by Buya Hamka

Mungkin banyak yang sudah melupakan buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al Azhar, namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi. Sesuai judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini. 

Buya Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapidana pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarakan saudara perempuannya berbuat hina dengan orang. 

Dalam sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak kalah tingginya dalam menebus kehormatan. Menurut Hamka, bangsa-bangsa Barat sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-kali dikejutkan dengan ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatannya disinggung. Demikian pula orang Madura, jika dipenjara karena membela kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya, dibelikan pakaian baru dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan baik. 

Di masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda biasa tidur di surau untuk menjaga kampung, salah satunya untuk menjaga agar anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada batas-batas tegas yang jangan sampai dilanggar. Kalau ada minat, boleh disampaikan langsung kepada orang tua. 

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuanny a, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah. 

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”. 

Penjajahan kolonial di Indonesia membawa masuk pengaruh Barat dalam pergaulan muda-mudi bangsa Indonesia. Pergaulan lelaki dan perempuan menjadi semakin bebas, sejalan dengan masifnya serbuan film-film Barat. Batas aurat semakin berkurang, sedangkan kaum perempuan bebas bekerja di kantor-kantor. Demi karir, mereka rela diwajibkan berpakaian minim, sedangkan keluarganya pun merasa terhormat jika mereka punya karir, tidak peduli bagaimana caranya. Tidak ada lagi kecemburuan. 

Tidak ada yang boleh marah melihat anak perempuannya digandeng pemuda yang entah dari mana datangnya. Suami harus lapang dada kalau istrinya pergi bekerja dengan standar berpakaian yang jauh dari syariat, karena itulah yang disebut “tuntutan pekerjaan”. 

Sesungguhnya ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ menjawab jerit tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan. 

Ghirah adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya. 

Buya Hamka mengkritik keras umat Muslim yang memuji-muji Mahatma Gandhi tanpa pengetahuan yang memadai. Gandhi memang dikenal luas sebagai tokoh perdamaian yang menganjurkan sikap saling menghormati di antara umat beragama, bahkan ia pernah mengatakan bahwa semua agama dihormati sebagaimana agamanya sendiri. Pada kenyataannya, Gandhi berkali-kali membujuk orang-orang dekatnya yang telah beralih kepada agama Islam agar kembali memeluk agama Hindu. Kalau tidak dituruti keinginannya, Gandhi rela mogok makan. Itulah sikap sejatinya, yang begitu cemburu pada Islam, sehingga tidak menginginkan Islam bangkit, apalagi memperoleh kemerdekaan dengan berdirinya negara Pakistan. 

Dua dasawarsa lebih berlalu dari wafatnya Hamka, nyatalah bahwa hilangnya ghirah adalah salah satu masalah terbesar yang menggerogoti umat Islam di Indonesia. Sekarang, orang tua pun rela menyokong habis-habisan anak perempuannya untuk menjadi mangsa dunia hiburan. Para ibu mendampingi putri-putrinya mendaftarkan diri di kontes-kontes model dan kecantikan, yang sebenarnya hanya nama samaran dari kontes mengobral aurat. 

Kalau kepada putri sendiri sudah lenyap kepeduliannya, kepada agamanya pun begitu. Makanan fast food dikejar karena prestise, tak peduli keuntungannya melayang ke Israel untuk dibelikan sebutir peluru yang akhirnya bersarang di kepala seorang bayi di Palestina. Kalau dulu seluruh kekuatan militer umat Islam dikerahkan untuk mengepung Bani Qainuqa’ hanya karena satu Muslimah dihina oleh tukang sepuh, maka kini jutaan perempuan Muslimah diperkosa, jutaan kepala bayi diremukkan dan jutaan pemuda dibunuh, namun tak ada satu angkatan bersenjata pun yang datang menolong. 

Luar biasa generasi anak-cucu Buya Hamka, karena mereka telah benar-benar mati rasa dengan agamanya sendiri. Ketika anak-anak muda dibombardir dengan pornografi, maka umatlah yang dipaksa diam dengan alasan kebebasan berekspresi. Tari-tarian erotis digelar sampai ke kampung-kampung yang penduduknya tak punya cukup nasi di dapurnya, hingga yang terpikir oleh mereka hanya jalan-jalan yang serba pintas. Ramai orang mengaku nabi, sementara para pemuka masyarakat justru menyuruh umat Islam untuk berlapang dada saja. Padahal yang mengaku-ngaku nabi ini ajarannya tidak jauh berbeda: syariat direndahkan, kewajiban-kewaj iban dihapuskan, para pengikut disuruh mengumpulkan uang tanpa peduli caranya, orang lain dikafirkan, bahkan para pengikutnya yang perempuan disuruh memberikan kehormatannya pada sang nabi palsu. Atas nama Hak Asasi Manusia, umat disuruh rela berbagi nama Islam dengan para pemuja syahwat. 

Atas nama toleransi, dulu umat Islam digugat karena penjelasan untuk Surah Al-Ikhlash dalam buku pelajaran agama Islam dianggap melecehkan doktrin trinitas. Kini, atas nama pluralisme, umat Islam dipaksa untuk mengakui bahwa semua agama itu sama-sama baik, sama-sama benar, dan semua bisa masuk surga melalui agamanya masing-masing. Maka pantaslah bagi kita untuk merenungkan kembali pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan makna dari ayat ke-9 dalam Surah Al-Mumtahanah: 

...orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya
Itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam. 

"Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta." 

Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka) 

Wassalaamu'alai kum warohmatullohi wabarokaatuh 

“Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?”
Ibnu Qayyim al-Jauziyah

Minggu, 25 Oktober 2015

Doa untuk mayat

الدّعاء للميّت

" يقول رسول الله -صلّى الله عليه وسلّم -: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلّا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعوا له".

ليس هناك هدايا نقدّمها لمن أحببناهم وفارقونا غير الدّعاء لهم، والطّلب من الله أن يشملهم برحمته، وقد حثّنا رسولنا الكريم على الدّعاء للميّت، وشبّه الدّعاء بالنّور الّذي يضيء عتمة القبور ويصل إلى الأموات كأنه هديّة تبشّرهم بها الملائكة على أنّها من أحبّتهم في الدّنيا، وقد سنّ رسولنا الكريم الدّعاء للميّت عقب الصّلاة فنقول: "ربّنا ارحمنا وارحم المسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات،وهذه مجموعة من الأدعية للميّت 

- اللهمّ اغفر له وارحمه وأدخله جنّات النعيم

اللهــــمّ يا حنَّان، يا منَّان، يا واسع الغفران، اغفر له و ارحمه، وعافه واعف عنه، و أكرم نزله، ووسّع مدخله، واغسله بالماء والثّلج والبرد، ونقِّه من الذّنوب والخطايا كما ينقَّى الثوب الأبيض من الدّنس

اللهــــمّ أبدله داراً خيراً من داره، وأهلاً خيراً من أهله، وزوجاً خيراً من زوجه، وأدخله الجنّة وأعزّه من عذاب القبر ومن عذاب النّار.

اللهــــمّ .. عامله بما أنت أهله، و لا تعامله بما هو أهله

اللهــــمّ .. أجزه عن الإحسان إحساناً، وعن الإساءة عفواً وغفراناً

اللهــــمّ .. إن كان محسناً فزد في حسناته، وإن كان مسيئاً فتجاوز عنه يا رب العالمين

اللهــــمّ .. آنسه في وحدته، وآنسه في وحشته، وآنسه في غربته

اللهــــمّ .. أنزله منزلاً مباركاً وأنت خير المنزلين

اللهــــمّ .. أنزله منازل الصدّيقين والشّهداء والصّالحين وحسن أولئك رفيقاً

اللهــــمّ .. اجعل قبره روضةً من رياض الجنّة، ولا تجعله حفرةً من حفر النّار

اللهــــمّ .. افسح له في قبره مدّ بصره، وافرش قبره من فراش الجنّة

اللهــــمّ .. أعذه من عذاب القبر، وجاف الأرض على جنبيه

اللهــــمّ .. املأ قبره بالرّضا والنّور، والفسحة والسرور

اللهــــم .. قِهِ السيّئات ( ومن تق السيئات يومئذٍ فقد رحمه )

اللهــــمّ .. اغفر له في المهديين، واخلفه في عقبة في الغابرين، واغفر لنا و له يا ربّ العالمين، وافسح له في قبره و نوّر له فيه.

اللهــــمّ .. إنَّ عبدك في ذمّتك وحبل جوارك، فقِهِ فتنة القبر، وعذاب النّار، وأنت أهل الوفاء والحق، فاغفر له وارحمه، إنّك أنت الغفور الرّحيم.

اللهــــمّ .. إنّ هذا عبدك وابن عبدك وابن أمّتك خرج من روَح الدّنيا وسعتها ومحبوبيه وأحبّائه فيها إلى ظلمة القبر وما هو لاقيه. كان يشهد أن لا إله إلّا أنت وأنّ محمداً عبدك ورسولك وأنت أعلم به .

اللهــــمّ .. إنّه نزل بك وأنت خير منزول به، وأصبح فقيراً إلى رحمتك و أنت غنيٌّ عن عذابه، آته برحمتك رضاك، وقِهِ فتنة القبر وعذابه، و آته برحمتك الأمن من عذابك حتّى تبعثه إلى جنّتك يا أرحم الرّاحمين.

- اللهمّ .. انقله من مواطن الدّود وضيق الّلحود إلى جنّات الخلود

اللهمّ ..ارحمه تحت الأرض، واستره يوم العرض، ولا تخزِهِ يوم يبعثون

اللهــــمّ .. يمِّن كتابه، ويسِّر حسابه، وثقِّل بالحسناتِ ميزانه، وثبِّت على الصّراط أقدامه، وأسكِنه في أعلى الجنّات، في جوار نبيِّك ومصطفاك صلّى الله عليه و سلّم.

اللهــــمّ .. أمِّنه من فزع يوم القيامة، و من هول يوم القيامة، واجعل نفسه آمنةً مطمئنّة، و لقِّنه حجَّته

اللهــــمّ .. اجعله في بطن القبر مطمئنّاً، وعند قيام الأشهاد آمناً، وبجود رضوانك واثقاً، وإلى أعلى علوّ درجاتك سابقاً

اللهــــم .. اجعل عن يمينه نوراً، وعن شماله نوراً، ومن أمامه نوراً، ومن فوقه نوراً،

- اللهــــمّ .. انظر إليه نظرة رضا، فإنَّ من تنظر إليه نظرة رضا لا تعذّبه أبداً

اللهــــمّ .. أسكنه فسيح الجنان، واغفر له يا رحمن

اللهــــمّ .. اغفر، وارحم، وتجاوز عمَّا تعلم، فإنّك أنت الله الأعزّ الأكرم

اللهــــمّ .. اعف عنه، فإنّك أنت القائل (و يعفوا عن كثير)

اللهــــمّ .. إنّه جاء ببابك، وأناخ بجنابك، فجُد عليه بعفوك، وإكرامك، وجودك، وإحسانك

اللهــــمّ .. إنَّ رحمتك وسعت كل شيء ، وهو شيء ، فارحمه رحمةً تطمئنّ بها نفسه ، وتقر بها عينه

اللهــــمّ .. احشره مع المتّقين إلى الرّحمن وَفداً

اللهــــمّ .. احشره مع أصحاب اليمين، واجعل تحيّته سلامٌ لك من أصحاب اليمين

اللهــــمّ .. بشِّره بقولك ( كلوا و اشربوا هنيئاً بما أسلفتم في الأيّام الخالية )

اللهــــمّ .. اجعله من ( الّذين سُعدوا ، ففي الجنّة خالدين فيها ما دامت السماوات والأرض )

- اللهــــمّ .. لا نزكِّيه عليك، ولكنّا نحسِب أنه آمن وعمل صالحاً، فاجعل له جزاء الضّعف بما عمل، واجعله في الغرفات من الآمنين

اللهــــمّ .. شفِّع فيه نبيّنا ومصطفاك صلّى الله عليه و سلَّم، واحشره تحت لوائِه، واسقِهِ من يده الشّريفة شربة هنيئة لا يظمأ بعدها أبداً

اللهــــمّ .. اجعله مع ( المتّقين، في ظلالٍ وعيون ، وفواكه ممّا يشتهون، كلوا واشربوا هنيئاً بما كنتم تعملون ، إنّا كذلك نجزي المحسنين )

اللهــــمّ .. اجعله مع ( المتّقين، في مقامٍ أمين ، في جنّاتٍ و عيون، يلبسون من سندسٍ واستبرق متقابلين، كذلك وزوّجناهم بحورٍ عين، يدعون فيها بكلِّ فاكهةٍ آمنين ).

- اللهــــمّ .. بشِّره بقولك ( وبشِّر الذين آمنوا وعملوا الصّالحات أنّ لهم جنّاتٍ تجري من تحتها الأنهار، كلّما رزقوا منها من ثمرةٍ رزقاً قالوا هذا الّذي رزقنا من قبل، و أُوتوا به متشابهاً، ولهم فيها ازواجٌ مطهّرةٌ، وهم فيها خالدون )

اللهــــمّ .. تقبّل منه صبره على البلاء، وامنحه درجة الصّابرين، الّذين يوفَّون أجورهم بغير حساب ، فأنت القائل ( إنما يوفَّى الصابرون أجرهم بغير حساب ) اللهــــمّ .. تقبّل منه صلاته لك، وثبِّته على الصّراط يوم تزل الأقدام

اللهــــمّ .. تقبّل منه صيامه، وسائر طاعاته، وصالح أعماله، وأثقل بها ميزانه يوم القيامة ، واجعله من الفائزين اللهــــمّ .. إنّه كان لكتابك تالياً، فشفِّع فيه القرآن، وارحمه من النّيران، واجعله يا رحمن يترقى في الجنّة إلى آخر آيةٍ قرأها، وآخر حرفٍ تلاه

اللهــــمّ .. ارزقه بكلّ حرفٍ من القرآن حلاوة، وبكلّ كلمةٍ كرامة، وبكلّ آيةٍ سعادة، وبكلّ سورةٍ سلامة، وبكلّ جزءٍ جزاء

اللهــــمّ .. حلّ روحه محلّ الأبرار، وتغمَّده بالرّحمة أثناء الليل والنّهار، برحمتك يا أرحم الرّاحمين

اللهــــمّ .. أوصل ثواب ما قرأناه من القرآن العظيم إليه، وضاعف رحمتك ورضوانك عليه.

- اللهــــمّ .. ارحمنا إذا أتانا اليقين، وعرق منا الجبين، وكثّر الأنين والحنين

اللهــــمّ .. ارحمنا إذا اشتدّت السّكرات، وتوالت الحسرات، وأطبقت الرّوعات، وفاضت العبرات، وتكشّفت العورات، وتعطّلت القوى والقدرات

اللهــــمّ .. ارحمنا إذا بلغت التّراقي، وقيل من راق، وظنّ أنّه الفراق، والتفّت السّاق بالساق، إلى ربّك يومئذٍ المساق، وتأكّدت فجيعة الفراق للأهل والرّفاق، وقد حمَّ القضاء، فليس من واق

اللهــــمّ .. ارحمنا إذا حمِّلنا على الأعناق، وكان إليك يومئذٍ المساق، وداعاً أبدياً للدور، والأسواق ، والأقلام، والأوراق، إلى من تذلّ له الجباة والأعناق

اللهــــمّ .. ارحمنا إذا ورينا التّراب، وغلقت من القبور الأبواب، وانفضَّ الأهل والأحباب، فإذا الوحشة، والوحدة، وهول الحساب

اللهــــمّ .. ارحمنا إذا فارقنا النعيم، وانقطع النّسيم، وقيل ما غرَّك بربِّك الكريم

اللهـــــمّ .. ارحمنا إذا أُقمنا للسّؤال ، وخاننا المقال، ولم ينفع جاهٍ ، ولا مال، ولا عيال ، وقد حال الحال، فليس إلّا فضل الكبير المتعال

اللهـــــمّ .. ارحمنا إذا نُسي اسمنا، ودرس رسمنا، وأحاط بنا قسمنا ووسعنا

اللهـــــمّ .. ارحمنا إذا أُهملنا، فلم يزرنا زائر، ولم يذكرنا ذاكر، وما لنا من قوّةٍ ولا ناصر، فلا أمل إلّا في القاهر القادر، الغافر السّاتر، يا من إذا وعد وفَّى، وإذا توعَّد عفا، ارحم من هفا وجفا، وشفّع فينا الحبيب المصطفى صلّى الله عليه و سلم، واجعلنا ممّن صفا ووفَّى، و بالله اكتفى، يا أرحم الرّاحمين، يا حيّ يا قيوم، يا بديع السماوات والأرض ، يا ذا الجلال والإكرام

اللهمّ... أبدله داراً خيراً من داره وأهلاً خيرًا من أهله

وادخله الجنّة وأعذه من عذاب القبر ومن عذاب النّار

- اللـهـمّ... عامله بما أنت أهله، ولا تعامله بما هو أهله

اللـهـمّ... أجزه عن الإحسان إحساناً وعن الإساءة عفواً وغفراناً

اللـهـمّ ...إن كان محسناً فزد من حسناته، وإن كان مسيئاً فتجاوز عن سيّئاته

اللـهـمّ... ادخله الجنّة من غير مناقشة حساب ولا سابقة عذاب

اللـهـمّ... اّنسه في وحدته وفي وحشته وفي غربته

اللـهـمّ... أنزله منزلاً مباركاً وأنت خير المنزلين

اللـهـمّ... أنزله منازل الصدّيقين والشّهداء والصّالحين وحسن أولئك رفيقاً

اللـهـمّ... اجعل قبره روضةً من رياض الجنّة، ولا تجعله حفرةً من حفر النّار

اللـهـمّ... افسح له في قبره مدّ بصره وافرش قبره من فراش الجنّة

اللـهـمّ... أعذه من عذاب القبر، وجفاف ِالأرض عن جنبيها

اللـهـمّ... املأ قبره بالرّضا والنّور والفسحة والسّرور

اللـهـمّ... إنه في ذمّتك وحبل جوارك فقه فتنة القبر وعذاب النّار، وأنت أهل الوفاء والحقّ فاغفر له وارحمه إنّك انت الغفور الرّحيم

اللـهـمّ... إنّه عبدك وابن عبدك خرج من الدّنيا وسعته ومحبوبيه وأحبّائه إلى ظلمة القبر وما هو لاقته

اللـهـمّ ...إنّه كان يشهد أنك لا إله إلّا أنت وأنّ محمداً عبدك ورسولك وأنت أعلم به

اللهمّ... ثبّته عند السّؤال

اللـهـمّ ... صلّ وسلّم وبارك على سيّدنا محمّد وعلى اّله وصحبه وسلّم إلى يومالدّين

Minggu, 11 Oktober 2015

Sulit mengafal tapi tetap menyenangkan

10 ALASAN MENGHAFAL TAK HAFAL-HAFAL TETAP MENYENANGKAN

1. Satu huruf Al-Qur'an satu kebaikan, dan satu kebaikan 10 pahala. Bagi yang kesulitan melafalkan, satu hurufnya dua kebaikan. Berarti setiap hurufnya 20 pahala. Semakin sulit semakin banyak. Kalikan dengan jumlah pengulangan Anda.

2. Al-Qur'an, seluruhnya, adalah kebaikan. Menghafal tak hafal-hafal berarti Anda berlama-lama dalam kebaikan. Semakin lama semakin baik. Bukankah Anda menghafal untuk mencari kebaikan.

3. Ketika Anda menghafal Al-Qur'an, berarti Anda sudah punya niat yang kuat. Rasulullah saw menyebut 70 syuhada dalam tragedi sumur Ma'unah sebagai qari (hafizh), padahal hafalan mereka belum semua. Ini karena seandainya mereka masih hidup, mereka akan terus menghafal. Jadi, meski Anda menghafal tak hafal-hafal, Anda adalah hafizh selama tak berhenti menghafal. Bukankah hafizh yang sebenarnya di akhirat?

4. Menghafal Al-Qur'an ibarat masuk ke sebuah taman yang indah. Mestinya Anda betah, bukan ingin buru-buru keluar. Menghafal tak hafal-hafal adalah cara Allah memuaskan Anda menikmati taman itu. Terseyumlah.

5. Ketika Anda menghafal Al-Quran, meski tak hafal-hafal, maka dapat dipastikan, paling tidak, selama menghafal, mata Anda, telinga Anda, dan lisan Anda tidak sedang melakukan maksiat. Semakin lama durasinya, semakin bersih.

6. Memegang mushaf adalah kemuliaan, dan melihatnya adalah kesejukan. Anda sudah mendapatkan hal itu saat menghafal kendati tak hafal-hafal.

7. Adakalanya kita banyak dosa. Baik yang terasa maupun tak terasa. Dan menghafal tak hafal-hafal adalah kifaratnya, di mana, barangkali, tidak ada kifarat lain kecuali itu.

8. Tak hafal-hafal adakalanya karena Allah sangat cinta kepada kita. Allah tak memberikan ayat-ayat-Nya sampai kita benar-benar layak dicintai-Nya. Jika kita tidak senang dengan keadaan seperti ini, maka kepada siapa sebenarnya selama ini kita mencintai. Ini yang disebut: Dikengenin ayat.

9. Menghafal tak hafal-hafal tentu melelahkan. Inilah lelah yang memuaskan, karena setiap lelahnya dicatat sebagai amal sholeh. Semakin lelah semakin sholeh.

10. Menghafal tak hafal-hafal, tandanya Anda di pintu hidayah. Berat tandanya jauh dari nafsu. Jauh dari nafsu tandanya dekat dengan ikhlas. Dan ikhlas lahirkan mujahadah yang hebat.

Hukum baca qunut dalam sholat subuh

Lanjutan ...

🌺🌴 SIKAP BIJAK IMAM AHLUS SUNNAH DALAM MENYIKAPI QUNUT QUBUH (bag.2)🌴🌺

Selanjutnya, kita lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut shubuh ini.

1⃣Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu

Beliau adalah salah satu dari imam empat madzhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam. Beliau termasuk yang menyatakan kesunahan membaca doa qunut ketika shalat shubuh. Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut shubuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam shubuh ketika Beliau shalat bersama jamaah  kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, di pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

2⃣ Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Pada sebagian riwayat, disebutkan bhwa Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang membid’ahkan qunut dalam shubuh, namun Beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

  فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.

“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (shubuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

3⃣Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

4⃣Imam Ibnu Hazm Rahimahullah

Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syaukani:

وقال الثوري وابن حزم : كل من الفعل والترك حسن

“Berkata Ats Tsauri dan Ibnu Hazm:  “Siapa saja yang yang melakukannya dan meninggalkannya, adalah baik.” (Nailul Authar, 2/346)

5⃣Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut shubuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena  meninggalkannya atau melakukannya, jika pun  tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).”   (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat berqunut atau tidak, shalat subuh adalah shahih. Perbedaan terjadi pada mana yang lebih utama. Katanya:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ.
وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ.
فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ.

Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana yang utama. Pada apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masalah qunut pada subuh dan witir, mengeraskan basmalah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya yang termasuk pembahasan ini.
Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang menyembunyikan juga sah shalatnya, yang berqunut subuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir. (Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1,  1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah)

6⃣Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut shubuh sebagaimana beliau uraikan dalam Zaadul Ma’ad, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya pada shalat shubuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut shubuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat sahabat yang membid’ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kadang melakukan qunut dalam shalat shubuh.

Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا .

“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat shubuh dan kadang meringankannya, meringankan  bacaan dalam shalat maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam shubuh dan kadang dia berqunut, beliau  tidak mengeraskan bacaan dalam shalat  ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadaang Beliau mengkeraskannya.

Beliau juga berkata:

وقنت في الفجر بعد الركوع شهراً، ثم ترك القنوت ولم يكن مِن هديه القنوتُ فيها دائماً، ومِنْ المحال أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كان في كل غداة بعد اعتداله من الركوع يقول: "اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ..." الخ ويرفعُ بذلك صوته، ويؤمِّن عليه أصحابُه دائماً إلى أن فارق الدنيا

“(Beliau) Qunut dalam shubuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat shubuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasusulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan: “Allahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait ... dst” dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. (Ibid, 1/271)

Lalu Ibnul Qayyim mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat dibelakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut shubuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). (HR. Ahmad, At tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)

Beliau juga mengutip    dari Said bin Jubair, dia berkata: aku bersaksi bahwa aku mendengar,  dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” (HR. Ad Daruquthni No. 1723)

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang  dhaiful hadits (hadits darinya dhaif).  (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib,  6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah.  Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits. Katanya:

فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن

“Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini. Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya. Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya  telah  berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” (Ibid, 1/274-275)

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

7⃣Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Mereka  saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah  Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan prilaku merutinkan qunut pada shubuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh  Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi-   mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وبالجملة فتخصيص صلاة الصبح بالقنوت من المسائل الخلافية الاجتهادية، فمن صلى وراء إمام يقنت في الصبح خاصة قبلالركوع أو بعده فعليه أن يتابعه، وإن كان الراجح الاقتصار في القنوت بالفرائض على النوازل فقط.

“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat shubuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut shubuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.”  (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’,  No. 902)

8⃣Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya:

عندنا إمام يقنت في صلاة الفجر بصفة دائمة فهل نتابعه ؟ وهل نؤمن على دعائه ؟

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

من صلى خلف إمام يقنت في صلاة الفجر فليتابع الإمام في القنوت في صلاة الفجر ، ويؤمن على دعائه بالخير ، وقد نص على ذلك الإمام أحمد رحمه الله تعالى

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat subuh, maka hendaklnya dia mengikuti imam berqunut pada shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177)

9⃣Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab  maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat madzhab Syafi’i maka itu jangan iingkari.

Katanya:

وبكل حال فمن قنت تبعاً للشافعية فلا يُنكر عليه ، ولكن الصحيح أنه لا يشرع . ولم يثبت عنه صلى الله عليه وسلم ، الاستمرار عليه . فالأظهر أنه مكروه بلاسبب والله علم .
Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. (Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Demikian. Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbail ‘alamin ....

📗📙📘📕

✏ FN
 
Wallahu A’lam