Pages

Kamis, 02 Februari 2012

KONSEP I'JAZ NASR HAMID ABU ZAID ; ANTARA MU'TAZILAH DAN HERMENEUTIKA


Oleh : Idrus Abidin

A.  PENDAHULUAN.

Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah seorang Intelektual Muslim yang membidik tema-tema keislaman, khususnya yang berkaitan dengan bahasa, yang menjadi objek kajiannya sejak ia mengawali debut ilmiahnya dari bawah hingga meraih gelar doctoral. Hanya saja, menurut Khoiran Nahdiyiin, ia tidak memperlakukan ilmu-ilmu tersebut sebagai ilmu itu sendiri, tetapi sebagai ilmu bantu untuk menjelaskan ilmu-ilmu lain. Oleh karena ilmu ini dalam tradisi Arab Islam tidak berkembang, ia memanfaatkan perkembangan lain yang terjadi di luar dalam disiplin yang sama.[1]
Yang dimaksud khairon Nahdiyiin adalah pemanfaatan Abu Zaid terhadap Hermeneutik yang berkembang pesat di barat yang memiliki benang merah dengan disiplin ilmu yang ia kembangkan.[2]
Memang kalau kita menyimak tulisan-tulisan Abu Zaid, nampak sekali ia menaruh perhatian besar terhadap aspek teks (Nash). Buku seperti Mafhum Al-Nash yang ia tulis, menjelaskan dengan runtut karakteriristik teks Al-Qur'an. Pada kitab tersebut ia menyimpulkan bahwa peradaban Islam Arab adalah peradaban teks (Hadharatu Al-Nash).[3] Karenanya ia melihat Al-Qur'an sebagai Produk Peradaban (Muntaj Tsaqafi). Yang mana, dalam proses pembentukannya selama kurang lebih 23 tahun, berdialektika dengan peradaban yang ada ketika itu.
Karena berangkat dari displin ilmu hermeneutik, maka tahapan penting yang harus ia lalui adalah melakukan analisa terhadap corak teks itu sendiri. Dengan itu kondisi pengarang teks tesebut dapat diketahui.[4]Tetapi karena pengarang teks, dalam hal ini Allah, tidak bisa jadi objek analisa, maka realitas dan kebuadayaanlah yang dijadikan Nasr sebagai pintu masuk.
Tentang ini, Nasr Hamid menulis, "Ketika pengirim (Allah) tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka sudah sewajarnya kalau realitas (Al-Waqi') dan kebudayaan (Al-Tsaqafah) menjadi pintu masuk yang empirik untuk kajian teks al-qur'an. Realitas di sini adalah realitas yang mengatur dinamika manusia-manusia yang menjadi audiens (al-mukhathabuun) teks tersebut, dan mengatur penerima pertama teks tersebut, yaitu Rasul. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan di sini adalah kebudayaan yang dipersonifikasikan di dalam bahasa. Dengan penjelasan sedemikian, maka studi teks melalui medium budaya dan realitas, sama artinya dengan memulainya dengan fakta-fakta yang empirik."[5]
 Kemudian Nasr medeskripsikan Rasulullah saw sebagai hasil dan produk masyarakatnya :"Muhammad, sebagai penerima pertama dan penyampai teks, merupakan bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah hasil dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh berkembang di Mekah sebagai anak yatim, dididik dalam suku bani sa'ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badwi."[6]
Karena hasil produk masyarakat, maka ketika menerima wahyu, Rasulullah saw digambarkan oleh Nasr Hamid sebagai penerima yang tidak sekedar pasif, tetapi ikut terlibat dalam mengelolah teks wahyu[7]. Ia menulis, "Pembicaran tentang Muhammad sebagai penerima pertama teks bukanlah pembicaaraan tentang penerima pasif, tetapi itu adalah pembicaraan tentang seorang manusia yang pada dirinya terbentuk harapan-harapan masyarakat yang merupakan tempatnya berafiliasi.[8]
Berdasarkan hal di atas, maka tema  besar yang diusung oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam Mafhum Al-Nash adalah upaya membuktikan bahwa tekas Al-Qur'an, berdasarkan sejarah pembentukanya, mengalami dialektika dengan peradaban yang ditemuinya, sehingga teks yang ada tidaklah harus ditaqdiskan sebagaimana ummat Islam memperlakukannya sekarang, tetapi ia bisa saja dikaji secara kritis.
Corak yang menjadi bingkai pemikiran Abu Zaid ini pula yang melatar belakangi pembahasannya tentang I'jaz Al-Qur'an, yang mana ia berusaha membuktikan bahwa teks (Al-Qur'an), mukjizatnya bukanlah secara inheren ada pada bahasa yang dimilikinya, tetapi I'jaznya berada di luar teks (I'jaz eksternal), berupa ketidak mampuan orang arab menggubah ungkapan atau puisi yang menyerupai al-qur'an, karena Allah sendiri yang menutup peluang itu. Artinya bahwa al-qur'an tidak bisa ditandingi bukan karena ketingian bahasanya, tetapi karena Allahlah yang membuat mereka tidak memiliki kemampuan itu. Dalam hal ini, Abu Zaid mengikuti pendapat kaum mu'tazilah yang kebetulan searah dengan peroyeknya dalam mengulas teks–teks Al-Qur'an berdasarkan alur Hermeneutika. Wallahu A'lam.

B.   KONSEP I'JAZ NASR HAMID ABU ZAID.

Sebenannya kajian ijaz Nasr Hamid hanya seputar perbandingan konsep I'jaz Asy'ari yang dimotori oleh Al-Baqillani, Ibnu Khaldun dll, dengan konsep I'jaz kalangan Mu'tazilah yang dipelopori  oleh Ibrahim Bin Sayyar yang dikenal dengan sebutan An-Nazzam. Kemudian Nasr Hamid mendukung konsep Mu'tazilah karena itu dekat dengan kesimpulannya terhadap al-qur'an sebagai produk budaya.
Perbedaan Nasr Hamid dengan Mu'tzilah terletak pada kesimpulannya yang menjadikan al-qur'an sebagai produk budaya, hal yang tidak pernah diklaim oleh Mu'tazilah, walaupun mereka mengatakan Al-Qur'an adalah mahluk. Artinya Mu'tazilah tidak sampai mengklaim bahwa posisi teks atau wahyu al-qur'an telah berubah menjadi peradaban.[9]
Menyangkut konsep Mu'tazilah tentang I'jaz, Nasr Hamid menyimpulkan konsep I'jaz An-Nazzam yang tidak melihat I'jaz tersebut terletak pada bahasa al-qur'an (I'jaz internal-pen). Ia menulis "Mukjizat menunjukkan kebenaran wahyu berkaitan erat dengan al-qur'an, akan tetapi Mukjizat tersebut tidak berasal dari watak khas al-qur'an sebagai teks yag berbahasa. Ia berasal dari ketidakmampuan  bangsa arab yang hidup semasa turunnya teks dalam membuat satu surat yang sepadan dengannya. Ketidakmampuan ini merupakan yang aksidental lantaran adanya interpensi kehendak Tuhan dan keraguan para penyair untuk menerima tantangan tersebut.[10]
Di sini tampak sekali pandangan An-Nazzan yang diikuti oleh Nasr Hamid bahwa I'jaz tidak pada bahasa. Dengan demikian bahasa yang merupakan medium yang digunaka Tuhan benar-benar menjadi milik kebudayaan, sehingga al-qur'an diposisikan layaknya teks-teks lainnya dalam masyarakat.
Gamal Al-Banna menyimpulkan kecendrungan Nasr Hamid ini dengan menulis, "Nasr Hamid tidak membuat perkecualian terhadap al-qur'an sebagai teks Ilahi yang bersumber dari Tuhan. Yang penting bagi Abu Zaid, teks tersebut telah membahasa, sementara bahasa bukanlah wadah yang hampa, tetapi merupakan perangkat kebudayaan dan pengetauan. Dengan asumsi demikian, al-qur,an mungkin didekati melalui pintu masuk kebudayaan karena ia produk kebudayaan.[11]
Bagi An-Nazzam, I'jaz al-qur'an hanya terjadi pada berita tentang peristiwa masa lampau dan yang akan datang serta hilangnya dorongan untuk mengadakan perlawanan. Sehingga perhatian Bangsa Arab terhadap hal itu hilang secara paksa. Menurut An-Nazzam, apabila mereka dibebaskan dari semua itu, niscaya mereka mampu membuat satu surat yang sepadan dengan al-qur'an, dalam segi balagah, ketinggian bahasa dan susunannya."[12]
Nasr Hamid menegaskan kecendrungan An-Nazzam ini dengan mengatkan, "Kemukjizatan di sini bukanlah kemukjizatan atau keunggulan yang terdapat dalam struktur teks jika dibandingkan dengan teks-teks lainnya."[13]
Lebih lanjut, Nasr Hamid menulis, "Dalam pandangan Mu'tazilah, hal yang dapat menunjukkan kebenaran Nabi adalah adanya sesuatu yang melemahkan (Mu'jiz) pada dirinya, baik melemahkan perbuatan-perbuatan yang meyalahii aturan kebiasaan dan alam ataupun perbuatan-perbuatan biasa alamiah yang dapat dilakukan oleh manusia."[14]

C.     SEPUTAR DUKUNGAN NASR HAMID TERHADAP KONSEP I'JAZ MU'TAZILAH DAN ALASANNYA.
Sejumlah alasan penting yang dikemukakan oleh Nasr seputar dukungannya terhadap konsep Mu'tazilah.  Menurut hemat kami, alasan itu terbagi dua, diantaranya adalah :
1                 Teori kemahlukan al-qur'an.
         Dengan mendukung konsep umum Mu'tasilah tentang khalqu al-qur'an maka proyeknya seputar Muntaj Tsaqapi tidak bermasalah, bahkan tampak logis dan searah. Karena dengan konsep kemahlukan al-qur'an maka akan berujung pada sebuah jalur yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi akal untuk melakukan penalaran atas al-qur'an melalui medium tafsir dan ta'wil.
         Alur ini nampaknya disadari oleh Gamal Al-Banna sehingga beliau menerangkan dalam komentaranya, "Tidak ada perbedaan antara Abu Zaid yang mengatakan : Kalau dia (al-qur'an)  itu betul-betul kalam Ilahi  maka dia tetaplah fenomena sejarah, sebab setiap perilaku Tuhan merupakan sebuah aksi di alam dunia ciptaan-Nya yang baharu dan historis. Demikian juga dengan al-qur'an. Dia merupakan fenomena sejarah kalau dilihat dari sisinya sebagai manifesatsi kalam ilahi, sekalipun merupakan manifestasi paling utuh,.sebab dia adalah yang paling akhir", ungkapan demikian sama belaka dengan pemikiran Mu'tazilah tentang kemanusian al-qur'an (basyariatul qur'an). Bahwa al-qur'an ditinjau dari sisi kalimat, hurup, suara tinta yang tertulis dalam sebuah lembaran, merupakan mahluk yang baharu. Bahkan dengan sifat-sifat demikian dia bisa menjadi aksi manusia yang bercakap-cakap denganya, yang membacanya dan menulis ayat-ayatnya.[15]
         Tentang peluang akal yang begitu luas dalam menjamah al-qur'an setelah meyakini kemahlukannya dijelaskan oleh gamal al-banna dalam kesimpulannya, "Atas asumsi itu, Mutazilah menegaskan bahwa ungkapan al-qur'an sebagai mahluk berarti sama dengan ungkapan tentang kemanusian kitab tersebut dari segi bahasa, suara, huruf, dialek. Kesemuanya merupakan upaya manusia yang kemudian membuahkan kaidah-kaidah yang disepakati dan ditaati. Itu semua pada akhirnya akan memberikan akal manusia ruang yang lebih lapang untuk melakukn penalaran atas kitab tersebut melalui medium tafsir dan ta'wil."[16]
         Apa yang dijelaskan oleh Gamal Al-Banna di atas tampaknya menjadi peluang bagi Nasr Hamid untuk mengesplor hermeneutika yang menjadi efistemologinya. Yang mana, fakta bahwa Nabi Muhammad saw sebagai penerima awal al-qur'an bukanlah penerima pasif tetapi penerima aktif, sangat jelas terpampang.
         Tentang peluang memasukkan hermeneutik ini, Adian husaini dan Henri Salahuddin menulis, "Di sinilah Nasr Hamid tampil cerdik dengan menempatkan Nabi Muhammad saw -penerima wahyu- pada posisi semacam pengarang "al-qur'an".[17]

A.    I'jaz eksternal teks. (al-I'jaz kharija al-nash).
Terekait dengan ini, alasan dukungan Nasr Hamid adalah bahwa dengan memandang mukjizat al-qur'an bukan inheren (eksternal-pen) dalam teks, tetapi hanya pada sisi pemberitaan masa lalu dan masa mendatang, berarti upaya menyamakan mukjizat Nabi Muhammad saw dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya. Yang mana da'wah dan risalah sebelum Islam memerlukan sebuah bukti (I'jaz) yang menegaskan kebenaran wahyu, yaitu bukti eksternal yang mencerminkan terjadinya aksi di luar kebiasaan pada diri Nabi-Nabi sebelumnya.
Sebelum Nasr Hamid mengungkap upaya penyamaan Mukjizat Nabi Muhammad saw dengan nabi-nabi sebelumnya, Nasr sendiri telah menolak pandangan I'jaz jumhur ulama yang melihat mukjizat al-quran sebagai mukjizat internal. Mukjizat internal ini dalam bahasa Ibnu Khaldun dikenal dengan istilah "ittihadu ad-dalil wal madlul"(inheren).
Alasan penolakan Nasr Hamid ini diungkapkan dalam tulisannya, "Yang perlu ditegaskan di sini bahwa menyatunya dalil dengan madlul dalam konsep wahyu merupakan konsep yang mebutuhkan interpretasi ulang. Kita patut bertanya, mengapa wahyu Islam menempati kedudukan seperti itu, sementara wahyu-wahyu sebelumnya, yang antara dalil dan madlulnya terpisah, memerlukan dalil eksternal untuk menegaskan kebenarannya ?."[18]
Dengan paparan di atas, saya menyimpulkan –wallahu a'lam- bahwa konsep I'jaz Nasr Hamid merupakan perpaduan antara pandangan Mu'tazilah dengan teori hermeneutik yang sering didengung-dengungkannya.
        



[1]  Khairon Nahdiyyin, Al-Qur'an, hemeneutik dan kekuasaan, karya Nasr hamid Abu Zaid, (Baandung :
   RQiS), cet.1, th.2003, hal.10-11.
[2]  Ibid.
[3]  Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum Al-Nash, Dirasah Fii Ulum Al-Qur'an, (Baerut : Al-Markaz Al-
    Tsaqafi Al-Arabi), th.1994, hal.9.
[4]  Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif ; Konsef Al-Qur'an Nasr Hamid dan
    Mu'tazila, dalam majalah ISLAMIA, vol.2, juni –agustus 2004, hal.33.
[5]  Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum Al-Nash, Hal.24.
[6]  Ibid, hal.59.
[7]  Mengelola wahyu di sini maksudnya : menerima makna al-qur'an dari Allah swt yang kemudian
   diterjemahkan oleh Nabi Muhammad saw melalui medium bahasa, dalam hal ini bahasa arab. Adian
   Husaini dan Henri Salahuddin mengomentari kecendrungan Nasr Hamid Abu Zaid ini degan menulis,
   "Pendapat Nasr dan kalangan dekonstruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang  al-qur'an
   yang selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa al-qur'an, baik makna maupun lafazhnya adalah dari
   Allah. Dalam konsepsi islam, nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan,……Posisi
   beliausaw dalam menerima dan menyampaikan wahyu memang pasif. Hanya sebagai "penyampai"
   apa-apa yang diwahyukan kepadanya. (Lihat : Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi
   Komparatif  ; Konsef Al-Qur'an Nasr Hamid dan Mu'tazila, dalam majalah ISLAMIA, vol.2, juni –
   agustus 2004, hal.34).
[7]  Ibid, hal.65.
[9]  Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif ; Konsef Al-Qur'an Nasr Hamid dan
    Mu'tazila, dalam majalah ISLAMIA, vol.2, juni –agustus 2004, hal.41.
[10]  Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum Al-Nash, Hal.145.
[11]  Gamal Al-Banna, Evulusi Tafsir dari jaman klasik hingga jaman moderen, (Jakarta : Qisthi Press), cet.1, th.2004, hal.229.
[12]  Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum Al-Nash, Hal.145.
[13]  Ibid, hal.146.
[14]  Ibid.
[15]  Gamal Al-Banna, ibid, hal.237-238.
[16]  Ibid, hal.238.
[17]  Adian Husaini dan Henri Salahuddin, hal.34.
[18]  Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum Al-Nash, Hal.138.

0 komentar:

Posting Komentar